Ma’ruf Amin: Tameng melawan politik identitas, tapi bukan pengganti suara?

Ma’ruf Amin: Tameng melawan politik identitas, tapi bukan pengganti suara?

Ma’ruf Amin, calon presiden pilihan Joko Wido pada April tahun depan, dipilih terutama untuk “melindungi” presiden dari serangan yang menggunakan politik identitas dan agama. Namun, kubu Jokowi harus menurunkan ekspektasi mereka terhadap Ma’ruf Amin sebagai pejuang suara, karena ia kurang memiliki daya tarik di kalangan pemilih muda.

Indonesia akan mengadakan pemilihan presiden pada 17 April 2019, kurang dari empat bulan dari sekarang. Salah satu topik yang ramai diperbincangkan publik akhir-akhir ini adalah ketidakmampuan Ma’ruf Amin memperbesar peluang terpilihnya kembali Joko Widodo (Jokowi). Survei terbaru Lembaga Survey Indonesia (LSI) menunjukkan elektabilitas Joko Widodo cenderung stagnan di kisaran 53 persen, sedangkan Prabowo sekitar 31 persen. Ma’ruf Amin kerap disandingkan secara negatif dengan lawannya Sandiaga Uno, pasangan Prabowo, yang menjadi magnet bagi pemilih perempuan dan milenial.

Misalnya, majalah Tempo edisi terbaru (15 Desember 2018) memberitakan bahwa Ma’ruf Amin gagal menaikkan persentase Jokowi di Banten, provinsi kelahirannya dan tempat ia menjalankan pesantren. Sampul terbitan Tempo bahkan menggambarkan bagaimana Ma’ruf Amin menjadi beban bagi Joko Widodo.

Berdasarkan berbagai survei, elektabilitas Jokowi sebelum pengumuman capres dan cawapres sekitar 70 persen. Siapa pun yang dipilih IS sebagai cawapresnya tidak akan berdampak signifikan pada elektabilitasnya.

Lebih lanjut, meski Ma’ruf Amin adalah rois ‘am (pemimpin tertinggi) Nahdlatul Ulama (NU), pasangan Prabowo-Sandi memiliki elektabilitas yang lebih tinggi dibandingkan Jokowi-Maaruf di Madura, Jawa Timur, salah satu kubu NU. Rencana kunjungan Ma’ruf Amin ke sebuah pesantren di Garut, Jawa Barat, November lalu, juga dikabarkan ditolak pengurus pesantren.

Penunjukan Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi di Pilpres 2019 seharusnya sudah dipikirkan matang-matang oleh Joko Widodo dan koalisi partai pendukungnya. Ia dipilih terutama sebagai “perisai” terhadap serangan-serangan yang menggunakan politik identitas, khususnya agama. Alasan inilah yang membuat Jokowi menuruti tuntutan koalisi parpol untuk memilih Ma’ruf Amin, bukan calon lain, sebagai pasangannya.

Beberapa analis mengatakan keputusan untuk memilih Ma’ruf adalah “pukulan telak” untuk memenangkan pemilu mendatang, yang diperkirakan akan dipicu oleh sektarianisme. Hal itu rupanya sebagai langkah untuk menghimbau lawannya yang berdasarkan Ijtima Ulama, majelis ulama yang diselenggarakan di Jakarta pada Juli 2018, merekomendasikan Prabowo untuk memilih ulama sebagai pasangannya. Sebaliknya, justru Jokowi yang menunjuk seorang ulama sebagai pasangannya.

Berdasarkan berbagai survei, elektabilitas Jokowi sebelum pengumuman capres dan cawapres sekitar 70 persen. Siapa pun yang terpilih sebagai cawapres tidak akan berpengaruh signifikan terhadap elektabilitasnya. Namun, belajar dari kasus Basuki Tjahaja Purnama di pilkada Jakarta, agama menjadi satu-satunya faktor yang bisa menggagalkan upaya Jokowi untuk terpilih kembali.

Mengharapkan Ma’ruf berperan sebagai “pemenang suara” bertentangan dengan keputusan awal untuk memilihnya sebagai cawapres Jokowi. Tampaknya sulit memenangkan hati dan pikiran pemilih muda dengan politik sarung dan songkok, pakaian yang biasa digunakan Ma’ruf Amin dalam sebagian besar kampanyenya. Sosok seperti Sandiaga Uno, cantik, kaya, dan muda, jelas lebih menarik pemilih milenial ketimbang Ma’ruf Amin yang berusia 75 tahun.

Ujian lakmus suksesnya pelantikan Ma’ruf Amin adalah apakah ia mampu melindungi Jokowi dari segala serangan penggunaan agama. Reuni 212 atau aksi tahunan ketiga Aksi Bela Islam (Aksi Bela Islam) pada 2 Desember 2018 lalu merupakan ajang yang bisa dijadikan ujian kemampuan Ma’ruf Amin menjinakkan umat Islam konservatif. Isu ordonansi berbasis agama yang dipicu oleh pernyataan Grace Natalie dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi ujian lain.

Di bekas, meski Ma’ruf Amin adalah salah satu aktor utama Aksi Bela Islam, ia tampaknya gagal mencegah Muslim konservatif menggunakannya lagi untuk tujuan politik, terutama untuk mendukung Prabowo dan melemahkan Jokowi. Yang terakhir, kehadiran Ma’ruf Amin di kubu Jokowi-lah yang menjadi faktor pencegah gejolak isu ini secara politis yang bisa membahayakan peluang Jokowi untuk terpilih kembali.

Singkatnya, setidaknya untuk saat ini, penunjukan Ma’ruf Amin sebagai tameng melawan politik identitas menuai sukses yang beragam. Namun, kubu Jokowi mungkin harus mulai menurunkan ekspektasi mereka terhadap Ma’ruf Amin sebagai pejuang suara.

game slot pragmatic maxwin