
Nahdlatul Ulama dan kerangka perjuangan ideologi dalam pemilu Indonesia 2019
Pemilihan presiden Indonesia 2019 telah berubah menjadi pertarungan proksi antara dua tren ideologis yang berbeda. Kelompok Islamis anti-khilafah dan moderat yang mendukung Joko Widodo telah berbaris melawan kelompok-kelompok pro-khilafah yang mendukung Prabowo.
Pada seminar yang diselenggarakan oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute pada 25 Februari 2019, Yenny Zannuba Wahid dari Wahid Foundation menggambarkan perpecahan lanskap Islam Indonesia dalam konteks pemilihan presiden 2019 mendatang.
Perpecahan ini dianimasikan oleh dua tren ideologi berbeda yang masing-masing didukung oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan kelompok-kelompok Islam tertentu, terutama Hizbut Tahrir (HTI) Indonesia yang terlarang. Yang pertama menentang pendirian khilafah, adopsi syariah sebagai hukum positif di Indonesia, pelaksanaan peraturan berbasis agama, dan mendukung prinsip NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia) ). Sebaliknya, yang terakhir berdiri untuk implementasi hukum syariah di Indonesia, untuk mengubahnya menjadi “NKRI Bersyariah”, dan beberapa dari mereka bahkan mendukung khilafah Islam.
NU percaya bahwa kelompok-kelompok Islam, termasuk mantan HTI, mendukung dan beroperasi di dalam kubu Prabowo. Ia melihat pernyataan Hasyim Djojohadikusumo (saudara laki-laki Prabowo dan anggota pendiri Gerindra) bahwa Partai Gerindra dan kubu Prabowo menyambut kelompok mana pun untuk bergabung dengan mereka, termasuk mantan anggota HTI dan mantan Partai Komunis (PKI), sebagai indikasi posisi itu.
NKRI Bersyariah mengimplikasikan bahwa semua peraturan di “Negara Kesatuan Republik Indonesia” ini harus sesuai dengan hukum Syariah.
Membingkai pemilu ini sebagai pertarungan ideologis, NU “cancut tali wondo” (terlibat penuh dan aktif) mendukung kubu Joko Widodo. NU percaya bahwa lebih dari sekedar pemilu biasa dipertaruhkan kali ini, termasuk Pancasila (ideologi negara Indonesia yang mendukung pluralisme) dan apa yang dikenal sebagai Islam moderat. Dengan kata lain, ada kekhawatiran bahwa hilangnya Joko Widodo dapat menyebabkan transformasi Indonesia menjadi NKRI Bersyariah, atau pemerintah akan menerapkan Pancasila eksklusif, dengan penekanan khusus pada pilar pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Maha Esa). .
NKRI Bersyariah mengimplikasikan bahwa semua peraturan di “Negara Kesatuan Republik Indonesia” ini harus sesuai dengan hukum Syariah. Selain itu, penerapan Pancasila yang eksklusif akan berarti promosi ortodoksi sedemikian rupa sehingga Penghayat Kepercayaan (penganut kepercayaan) dan mereka yang dianggap sebagai aliran sesat, seperti Ahmadiyah dan Syiah, tidak dapat ditolerir.
Selain soal pertarungan ideologi, NU juga memberikan dukungan penuh kepada Joko Widodo karena keputusan petahana itu memilih Ma’ruf Amin, mantan rois ‘am (pemimpin tertinggi) NU, sebagai pasangannya. Bagi NU, karena Hasyim Muzadi (mantan ketua NU) dan Salahuddin Wahid (saudara mantan presiden Abdurrahman Wahid dan seorang pemimpin berpengaruh di NU) sebelumnya kalah sebagai calon wakil presiden, taruhannya tinggi. Akan menjadi malapetaka bagi posisi NU untuk mengalami kekalahan ketiga.
Yang masih belum jelas, apakah warga NU lebih cenderung mendukung Joko Widodo karena kerangka ideologis, atau karena ingin melihat Ma’ruf Amin menjadi wakil presiden. Jika yang pertama, itu akan memiliki efek polarisasi yang lebih dalam lanskap Islam Indonesia. Jika yang terakhir, ada sejumlah disonansi karena Ma’ruf Amin pernah menjadi bagian dari kelompok yang kini menyerang Joko Widodo.